Rizki Maulana Hamdani
PAP 14A / 14080314025
Ketidak Benaran Menjadi Kebenaran, Menjadikan kebenaran itu Menjadi Rumit
Pacaran
adalah suatu proses saling menganal antara 2 (dua) insan manusia dimana pada
umumnya berada dalam tahap mencari kecocokan dalam menuju kehidupan berkeluarga
yang sering kita kenal dengan pernikahan. Ada beragam atau berbagai tujuan
orang melakukan berpacaran ini, misalnya
ada yang sekedar iseng-iseng saja, mencari teman bicara, atau bahkan ada yang
lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati(curhat). Dan bahkan ada juga yang
memang menjadikan masa pacaran ini sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam
menempuh jenjang pernikahan. Akan tetapi pada kenyataanya tidak semua bentuk
pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan dan berkeluarga. Banyak sekali
diantara pemuda dan pemudi khususnya remaja yang lebih terdorong oleh rasa
ketertarikan semata, disebabkan dari sisi kedewasaan, usia.Pacaran sudah
menjamur pada kalangan anak remaja. Terkadang orang dewasa pun pacaran dulu
sebelum menikah.Namun di jaman sekarang pacaran banyak di gunakan dengan
hal-hal yang tidak semestinya di lakukan contohnya pelecahan seksual. Adapun di
klangan tertentu pacaran itu tidak di kenal, mereka pun tahu pacaran itu apa
tetapi mereka cenderung menghindari karena manganggap gaya itu tidak lagi
mutlak di lakukan pada masa pranikah. Selain tidak sesuai dengan norma agama,
ini terbukti dari pengalaman saat ini bahwa pacaran cenderung kelewat batas
apalagi pada remaja-remaja saaat ini.
pada dasarnya di dalam
ajaran islam sebenarnya PACARAN itu tidak ada, namun di dalam islam yang ada
hanya taaruf. Islam hanya mengajarkan bentuk-bentuk curahan kasih sayang
setelah melalui proses sakral yaitu pernikahan. Sementara proses pranikah yang
dilakukan untuk saling mengenal antara calon pria dan wanita biasanya di sebut
proses taaruf. Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita
bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan
tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari
berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika
kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk
bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut yaitu
menikah. Jadi dalam taaruf tidak ada kata pacaran keluar berduaan, berpegangan
tangan yang bukan mukrimnya.Apakah perbedaan Pacaran dengan Taaruf? Pacaran:
Tanpa komitmen yang jelas, Kebanyakan berdasar dorongan hawa nafsu, Dilarang
Agama kita, Mendapat dosa, Melanggar
larangan Allah dan Rasul-Nya, Dekat dengan zina, Sering mendapat fitnah,
Sukanya sembunyi-sembunyi. Sedangkan taaruf : Punya tujuan yang jelas
(menikah), Dorongan untuk menyempurnakan ibadah, Dianjurkan Agama kita,
Mendapat pahala, Mengikuti Sunnah Rasul. Etika selama bertaaruf yaitu jangan
terburu-buru menjatuhkan cinta. Alangkah baiknya jika mengenal lebih dalam
mulai dari kepribadian, fisik, dan juga latar belakang keluarganya.
“Pacaran” mempunyai beberapa arti :
- Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka.
- Pacaran berarti “bergendak” yang sama artinya dengan berkencan atau berpasangan untuk berzina.
- Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri.
Pacaran menurut arti pertama dan kedua
jelas dilarang oleh agama Islam, berdasarkan nash:
a.
Allah berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا
الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً ( الإسراء: 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk”
b. Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ
تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري: 2784
, مسلم: 2391)
“Dari
Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata:
Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan
kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan
musafir kecuali beserta ada mahramnya” (muttafaq alaihi)
Perkawinan
merupakan sunnah Rasulullah dengan arti bahwa suatu perbuatan yang sangat
dianjurkan oleh Rasulullah agar kaum muslimin melakukannya. Orang yang anti
perkawinan dicela oleh Rasulullah, berdasarkan hadits:
عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَال: …لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي *
(رواه البخاري: 4675, مسلم: 2487)
“Dari
Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat,
tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku
maka ia bukanlah dari golonganku”
Pada umumnya suatu
perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum
terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi
akad nikah melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan
tahap pertunangan. Tahap penjajakan mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan atau sebaliknya, atau pihak keluarga masing-masing.
Rasulullah memerintahkan agar pihak-pihak yang melakukan perkawinan melihat
atau mengetahui calon jodoh yang akan dinikahinya, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنَ
اْلأَنْصَارِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ
نَظَرْتَ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا ( رواه
النسائ: 3194, إبن ماجه و الترمذي)
“Dari Abu Hurairah ra ia berkata: berkata
seorang laki-laki sesungguhnya ia telah meminang seorang permpuan Anshar, maka
berkata Rasulullah kepadanya: “Apakah engkau telah melihatnya? Laki-laki itu
menjawab: “Belum”. Berkata Rasulullah: “Pergilah dan perhatikan ia, maka
sesungguhnya pada mata perempuan Anshor ada sesuatu” (HR. an-Nasa’i,
Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan dinyatakannya sebagai hadits hasan)
Rasulullah saw
memerintahkan agar kaum muslimin laki-laki dan perempuan sebelum memutuskan
untuk meminang calon jodohnya agar berusaha memilih jodoh yang mungkin
berketurunan, sebagaimana dinyatakan pada hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ
التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي
مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ *( رواه أحمد :
12152, وصححه إبن حبان )
“Dari Anas ra.
Rasulullah saw memerintahkan (kaum muslimin) agar melakukan perkawinan dan
sangat melarang hidup sendirian (membujang). Dan berkata: Kawinilah olehmu wanita
yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan
banyaknya kamu di hari kiamat”
Dari
kedua hadits diatas dipahami bahwa ada masa penjajakan untuk memilih calon
suami atau isteri sebelum menetapkan keputusan untuk malakukan peminangan.
Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan atau
keluarga mereka. Jika dalam penjajakan ini ada pihak yang diabaikan terutama
calon isteri atau calon suami maka yang bersangkutan boleh membatalkan pinangan
akan perkawinan tersebut, berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا قَالَ
نَعَمْ * ( رواه مسلم: 2545, البخاري: 4741)
“Dari Ibnu Abbas, ra,
bahwasanya Rasululah saw bersabda: Orang yang tidak mempunyai jodoh lebih
berhak terhadap (perkawinan) dirinya dibanding walinya, dan gadis dimintakan
perintah untuk perkawinannya dan (tanda) persetujuannya ialah diamnya” (muttafaq
alaih)
Dan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا
أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( رواه أبوداود: 1794, أحمد:
2340, إبن ماجه: 1865)
“Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya jariah
seorang gadis datang menghadap rasulullah saw dan menyampaikan bahwa bapaknya
telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rsulullah saw
menyuruhnya untuk memilih (apakah menerima atau tidak)”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah dan ad-Daraquthni)
Masa
penjajakan ini dapat disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di
atas. Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan
diterima maka jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah
disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak harus
menjaga diri mereka masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan
hubungan orang-orang yang belum terikat dengan akad nikah.
Rasulullah
saw memberi tuntunan bagi orang yang dalam masa pacaran atau dalam masa
petunangan sebagi berikut:
- Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara mereka yang bertunangan dan pacaran adalah seperti hubungan orang-orang yang tidak ada hubungan mahram atau belum melaksanakan akad nikah, karena itu mereka harus:
- Memelihara matanya agar tidak melihat aurat pacar atau tunangannya, begitu pula wanita atau laki-laki yang lain. Melihat saja dilarang tentu lebih dilarang lagi merabanya.
- Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar tidak mendekati perbuatan zina.
- Untuk menjaga ‘a’ dan ‘b’ dianjurkan sering melakukan puasa-puasa sunat, kerena melakukan puasa itu merupakan perisai baginya. Hal diatas dipahami dari hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ * (رواه مسلم: 2486, البخاري: 1772)
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw
mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang
telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya
melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj
(kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat),
maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih)
Refrensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar